My Word, My World

Just another WordPress.com weblog

Majalah Sebagai Produk Budaya Pop Februari 2, 2008

Filed under: Media — wijendaru @ 5:56 pm
Tags: , , ,

[sambungan Spasialisasi, Hegemoni, dan Budaya Pop]

 

 

Majalah merupakan salah satu media output yang disebut sebagai budaya pop, yang sekaligus menyerap budaya pop untuk kepentingan isi dan bentuknya. Kosmopolitan adalah salah satu merek dari Amerika, dengan nama aslinya Cosmopolitan, yang pada mulanya dipasarkan di negara-negara Barat — Indonesia adalah negara ke-36 yang menerbitkannya — yang menonjolkan karakteristik Barat dengan menggunakan model-model dari negara Barat. Hal ini tampak dari penampilan majalahnya yang mengesankan majalah luar negeri, meskipun sebenarnya merupakan majalah versi Indonesia. Sosok-sosok selebriti dunia, seperti Mariah Carey, Cindy Crawford, Neve Campbell, Vanessa Mae, Jennifer Lopez, Christina Aguilera, dan sebagainya, dalam balutan busana perancang dunia lengkap dengan aksesorisnya, menampilkan sosok perempuan sukses dari kalangan terpandang, kelas atas, dan dengan kehidupan yang mewah. Kosmopolitan yang ditujukan untuk wanita muda berusia 20-30 tahun tampak dari sampul majalah tersebut yang menampilkan selebriti-selebriti muda dengan usia yang kurang lebih sama dengan segmen yang ditujunya.

 

Gambar fotografis sampul majalah Kosmopolitan itu dapat dinilai sebagai karya seni karena foto tersebut tidak mengandung nilai dokumenter, tetapi lebih memberikan nilai estetik dan artistik. Sebagai foto yang bernilai seni dengan mengedepankan unsur warna, pendekatan yang dipakai oleh pembuat foto sebagai komunikator adalah pendekatan yang bersifat emosional-sentimentil[1] yang berusaha memukau dan memikat komunikan dengan keindahannya. Unsur “memikirkan” seperti yang dikehendaki oleh foto dengan pendekatan intelektual-faktual justru dijauhkan oleh pendekatan ini karena foto sampul majalah ini tidak memerlukan verifikasi tentang kebenarannya.

 

Sebagai majalah waralaba yang berasal dari Amerika, Kosmopolitan sarat dengan budaya pop. Hal itu tampak dalam gambar fotografis sampul majalah Kosmopolitan yang tampil sebagai ikon budaya pop, mulai dari peraganya yang berprofesi — sebagai artis, model, penyanyi, pemusik — dalam industri kebudayaan pop, busana, aksesoris hingga dandanan yang juga merupakan bagian dari kebudayaan pop yang menampilkan tampang, dandanan, dan gaya hidup masyarakat Barat.

 

Foto sampul tersebut menjadi ikon dari realitas yang digambarkannya. Secara semiotik, hubungan antara signifier foto dengan objeknya didasarkan atas apa yang oleh Charles Sanders Peirce, filosof Amerika (1839-1914), dideskripsikan sebagai sifat ikonik dan indeksikal foto[2]. Berdasarkan kategori tanda yang dihubungkan dengan objeknya, gambar fotografis sampul majalah merupakan ikon sekaligus indeks dari objeknya. Sebagai ikon, foto tersebut tampil tepat sama dengan objek aslinya. Jika sampul tersebut menampilkan Jennifer Lopez alias J.Lo sebagai modelnya, maka objek yang disebut J.Lo adalah seperti yang tampak di foto tersebut. Sedangkan sebagai indeks, foto sampul tersebut memiliki hubungan eksistensial langsung dengan objeknya. Foto tersebut merupakan penegasan atas keberadaan J.Lo, misalnya, sebagai selebriti yang serba bisa — sebagai penyanyi, pemain film, dan model — yang diakui tidak hanya di Amerika, tetapi juga di seluruh dunia.      

 

Sosok J.Lo atau selebriti lainnya yang ditampilkan sebagai sampul majalah Kosmopolitan itu merupakan sebuah tanda, tampilannya sebagai perempuan sukses dari kalangan terpandang, kelas atas, dan dengan kehidupan mewahnya merupakan interpretan, sedangkan objeknya mengacu pada sosok individual selebriti beserta produk-produk yang digunakannya. Keseluruhan penampilan tersebut merupakan ikon budaya pop yang mengacu pada produk-produk dengan karakteristik masyarakat Barat, pada umumnya, dan Amerika, pada khususnya, terutama busana yang digunakan. Busana tersebut memperlihatkan ciri busana hasil karya perancang Barat, yaitu busana dengan potongan terbuka yang berani memperlihatkan dan menonjolkan keindahan tubuh wanita pemakainya. Ikon budaya pop juga mengacu pada peraganya yang menampilkan karakteristik Amerika, tidak hanya melalui (sebagian besar modelnya yang memiliki) wajah dengan karakter wanita Barat, seperti hidung mancung, rambut pirang, mata berwarna, kulit putih/gelap, dan sebagainya, tetapi juga melalui profesi-profesi mereka sebagai artis, model, pemusik, penyanyi, dan sebagainya, yang berasal dari Amerika, membawa nama besar Amerika atau kalaupun mereka tidak berasal dari Amerika, mereka sangat dikenal oleh publik Amerika.

 

Mengenai busana yang dipakai, dilihat dari pendekatan Ferdinand de Saussure, ahli linguistik dari Swiss (1857-1913), gambar fotografis tersebut menampilkan keadaan busana yang semi-sistematik. Di satu pihak, jika dikaitkan dengan konteks masyarakat Indonesia, langue[3] mencakup pakaian yang semu-nyata, artinya busana yang dipakai oleh model dalam sampul, meskipun nyata keberadaannya, belum tentu dapat dipakai di sini karena penampilannya yang kurang sesuai dengan norma Timur. Di lain pihak, pemakai busana tersebut, yaitu selebriti, adalah individu yang dipilih sehubungan dengan imaji yang ingin ditampilkan oleh majalah tersebut. Sementara busana sangat terbuka yang dipakai model sehingga menampakkan bagian-bagian tertentu dari tubuhnya menggambarkan aturan-aturan berbusana dalam masyarakat Barat yang serba berani. Sementara itu, parole[4] dalam busana yang dipakai oleh model sampul majalah mengacu pada cara berpakaian yang individual, seperti ukuran busana yang pas dengan tubuh model atau busana yang cocok dengan karakter model, sehingga indah dilihat, tebal tipisnya busana yang dipakai, dan sebagainya.

 

Selain itu, sampul majalah Kosmopolitan menampilkan imaji fun fearless female sesuai dengan slogannya yang berbunyi sama. Kata-kata fun fearless female mengacu pada imaji wanita yang modern dalam arti wanita yang ingin maju, yang mendahulukan karier, yang ingin membahagiakan dirinya sendiri dengan bekerja atau berkarier, bukan wanita yang merasa harus segera berkeluarga pada usia yang sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakatnya. Kosmopolitan hendak menciptakan wanita-wanita modern yang memiliki positive thinking, berani bertanggung jawab, berani menikmati hidup atau berani mencoba dengan slogan fun fearless female, yang diwakili oleh selebriti dunia yang menjadi modelnya. Di balik semua itu, Kosmopolitan berusaha membangun wanita dengan pandangan: positive thinking to be a better person, to be a happy woman. Hal ini tampak dalam penampilan model sampul majalahnya yang secara tersirat digambarkan sebagai “I’m happy with myself” yang juga diwakili oleh busana berpotongan terbuka yang dikenakannya. Busana dengan potongan tersebut, di samping memperkuat pancaran kepercayaan diri pemakainya, juga memperlihatkan budaya Barat yang serba terbuka dan berani.

 

Di sinilah kemudian hadir kemampuan menampilkan realitas dan mempengaruhi kenyataan melalui sampul majalah. Kosmopolitan menghadirkan kenyataan wanita Barat sebagai wanita modern dengan kepribadian yang bahagia dengan diri dan kariernya, selalu berpikiran positif, dan percaya diri dengan penampilannya. Pada saat yang bersamaan, Kosmopolitan pun hendak menciptakan sosok wanita Indonesia menjadi wanita modern. Khalayak kemudian mengidentifikasi diri dengan makna yang ditimbulkan oleh citra-citra itu dan membuat representasi budaya tersebut berfungsi dalam hidup mereka sehari-hari, dengan menjadikannya sebagai gaya hidup.

 

Kosmopolitan dan majalah-majalah sejenis sebenarnya merupakan mesin pengeruk uang yang berusaha mendominasi mode dan gaya hidup masyarakat, khususnya wanita perkotaan dengan menggunakan kecantikan dan keindahan tubuh selebriti sebagai komoditi yang menawan imajinasi khalayak karena keberadaan mereka disajikan secara amat menarik. Majalah menjadi alternatif sarana untuk bersenang-senang (pleasure) dalam mengisi kekosongan waktu luang (leisure); majalah menjadi salah satu sarana pelarian diri bagi orang yang teralienasi. Ideologi plesir yang dibawa media telah berhasil masuk ke dalam kehidupan sehari-hari seseorang, ketika seseorang memanfaatkan waktu luang dengan membaca majalah yang menyajikan nilai-nilai dan gaya hidup wanita perkotaan yang modern, tanpa orang tersebut menyadarinya karena menganggapnya sebagai sesuatu yang biasa.

 

Kehadiran tanda yang tampil dalam sosok selebriti dunia yang mewakili keberadaan majalah secara keseluruhan menghadirkan pula ideologi. Sosok selebriti yang hadir sebagai sampul majalah, dalam hal ini, menjadi penarik perhatian kaum wanita untuk membaca majalah tersebut. Pada dasarnya, majalah komersial itu sendiri hadir untuk membuat orang merasa khawatir dengan dirinya sendiri dan membangkitkan perasaan kehilangan akan sesuatu dalam diri seseorang, sehingga ketika seseorang merasakan perasaan teralienasi, ia berusaha meredakannya dengan mengkonsumsi media, dalam hal ini majalah. Di sinilah majalah berperan penting menyediakan momen-momen kepuasan atas perasaan “kekurangan” yang sebenarnya ditimbulkan oleh majalah itu sendiri. Perasaan tersebut membuat orang menjadikan majalah sebagai bagian dari gaya hidupnya, yang menghibur mereka sewaktu merasa teralienasi atau sebagai sarana yang sewaktu-waktu dapat membantunya memecahkan persoalan. Makna-makna ideologis itu menjadi tampak alami dan dapat diterima dengan akal sehat dengan penyajiannya yang dikemas menarik.


[1] Astrid S. Susanto, Komunikasi Massa 2, Penerbit Binacipta, Bandung, 1982, h.56-57.

[2] Winfred Nöth, Handbook of Semiotics, Indiana University Press, Bloomington and Indianapolis, 1990, h.461.

[3] Parole yang dipisahkan dari langue sebenarnya membentuk esensi analisis linguistik. Untuk beberapa sistem yang diperkirakan, kita hanya dapat meramalkan bahwa beberapa kelompok fakta termasuk kategori langue, yang lainnya masuk pada kategori parole. Langue merupakan suatu fakta sosial, seperti halnya bahasa nasional merupakan fakta sosial. Jadi langue adalah suatu sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut, seolah-olah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara pemakai bahasa. Adapun parole adalah penggunaan bahasa secara individual. Langue  dan parole beroposisi, tetapi sekaligus juga saling bergantung. Di satu pihak sistem yang berlaku dalam langue adalah hasil produksi dari kegiatan parole, di lain pihak pengungkapan parole serta pemahamannya hanya mungkin berdasarkan penelusuran langue sebagai sistem. (Martin Krampen, Ferdinand de Saussure dan Perkembangan Semiologi dalam Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest (ed.), Serba-Serbi Semiotika, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, h.57).

[4] Ibid.

 

 

 

Tinggalkan komentar